Halo semua, Bosku! Bagaimana kabarnya? Coba ki' bayangkan ini skenario: kita lagi duduk santai di warkop, terus kita kasih lihat teman ta' gambar hasil AI. Gambarnya itu Benteng Rotterdam tapi versi cyberpunk, dengan lampu-lampu neon dan mobil terbang. Pasti semua langsung bilang, "Weh, kerennya! Bagaimana caramu bikin?" Dengan bangga kita bilang, "AI ji ini, Bos!"
Teknologi Kecerdasan Buatan (AI) memang sudah seperti sihir di zaman modern. Dari yang cuma bantu jawab pertanyaan lewat ChatGPT, sampai bisa ciptakan lagu dan lukisan. Hidup terasa lebih gampang, pekerjaan juga banyak terbantu.
Tapi, sama seperti pesulap yang punya trik di balik panggung, keajaiban AI ini juga punya "rahasia" di belakangnya. Rahasia yang jarang dibahas, yaitu tagihan energi dan sumber daya alam yang luar biasa besar. Ternyata, di balik kepintarannya, AI ini rakus sekali, we! Mari kita kupas tuntas, biar kita jadi pengguna yang bukan cuma keren, tapi juga cerdas.
Kenapa Ini AI Bisa Rakus Sekali? Begini Ceritanya
Untuk gampangnya, kita bedakan dua fase kerja AI: fase "sekolah" dan fase "kerja".
-
Fase Sekolah (Training): Seperti Menghafal Seluruh Perpustakaan Dunia
Sebelum AI bisa pintar, dia harus "sekolah" dulu. Proses ini namanya training. Bayangkan mi kita suruh satu orang untuk membaca, menghafal, dan memahami seluruh isi internet: Wikipedia, jutaan buku, miliaran artikel berita, dan triliunan postingan media sosial. Pasti butuh energi luar biasa banyak, toh? Begitu mi juga AI. Training ini butuh ribuan komputer super canggih (namanya GPU, lebih kuat dari kartu grafis di laptop gaming ta') yang bekerja non-stop selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Semua komputer ini disimpan di gedung raksasa bernama data center. Nah, listrik yang dihabiskan untuk sekali training model AI besar itu, menurut para peneliti, bisa setara dengan konsumsi listrik satu kota kecil selama setahun. Deh, pusing kepalaku bayangkan tagihannya. -
Fase Kerja (Inference): Tagihan Harian dari Jutaan Pengguna
Setelah "lulus sekolah", AI siap "kerja". Inilah yang kita pakai sehari-hari. Setiap kali kita bertanya, "Apa resep Coto Makassar terenak?", atau menyuruh AI, "Buatkan saya gambar Pantai Losari gaya lukisan Van Gogh", AI mulai bekerja. Proses ini namanya inference. Meskipun satu perintah inference butuh energi jauh lebih kecil dibanding training, tapi ingat ki'! Ada ratusan juta orang di seluruh dunia yang memakai layanan ini setiap hari, setiap jam, setiap detik. Kalau semua tagihan kecil itu digabung, jumlahnya jadi gunung! Ibaratnya, jutaan keran air yang menetes terus-menerus, lama-lama bisa bikin banjir juga.
Efek Domino-nya ke Kita di Makassar, Apa Saja?
"Ah, itu kan urusan perusahaan teknologi di Amerika sana. Apa hubungannya sama kita yang di Makassar?" Eits, jangan salah, Bosku. Dunia ini terhubung. Efek dominonya sampai juga ke kita di sini.
-
Tambah Menyengat Matahari di Jalan Raya & Ancaman 'Rob' yang Makin Nyata
Seperti yang dibahas tadi, mayoritas listrik global masih pakai bahan bakar fosil (batu bara, minyak, gas). Makin banyak pusat data dibangun untuk AI, makin besar permintaan listrik, makin kencang pula asap pabrik mengepul ke atmosfer. Ini mempercepat pemanasan global. Buat kita di Makassar, artinya apa? Siap-siap mi merasakan matahari yang makin terik menyengat kalau lagi di jalan. Lebih serius lagi, pemanasan global bikin permukaan air laut naik. Kota-kota pesisir seperti Makassar jadi makin rentan kena banjir rob. Jangan sampai nanti Anjungan Pantai Losari harus ditinggikan lagi karena air laut makin pasang. - Ironi Air: Di Pusat Data Lancar Jaya, di Rumah Kadang 'Begitumo'
Ini yang lebih jarang lagi orang tahu. Pusat data itu seperti manusia yang lari maraton, panas sekali! Untuk mendinginkannya, mereka menyedot air bersih dalam jumlah masif. Sebuah riset dari University of California, Riverside, menemukan fakta gila: satu sesi percakapan dengan ChatGPT (sekitar 20-50 pertanyaan) bisa "meminum" sekitar 500 ml air bersih untuk pendinginan! Bayangkan berapa juta liter air dihabiskan setiap hari secara global. Ironis sekali, toh? Di satu sisi, teknologi super canggih menikmati pasokan air tanpa batas. Di sisi lain, kadang kita di rumah masih sering dengar keluhan, "Kenapa tidak mengalir air PDAM ini, weh?" - Gunung Sampah Baru: Limbah Elektronik dari 'Otak' AI
Teknologi itu cepat sekali usang. GPU dan prosesor super canggih yang jadi "otak"-nya AI hari ini, mungkin dua atau tiga tahun lagi sudah dianggap lemot dan harus diganti. Pertanyaannya: dikemanakan itu semua barang elektronik bekas? Jadilah dia e-waste atau limbah elektronik. Limbah ini beracun, sulit didaur ulang, dan seringkali berakhir di negara-negara berkembang, menciptakan masalah lingkungan dan kesehatan baru.
Jangan Panik Dulu, Ada Ji Harapan dan Solusinya
Setelah baca semua ini, mungkin kita jadi agak ngeri. Tapi tujuannya bukan untuk membuat kita anti-AI. Kabar baiknya, para raksasa teknologi dan ilmuwan tidak tinggal diam. Mereka juga sadar akan masalah ini.
- AI Disuruh 'Diet': Para insinyur lagi mengembangkan teknik untuk membuat model AI lebih efisien. Istilah kerennya ada model pruning (memangkas bagian AI yang tidak perlu) dan quantization (menyederhanakan 'bahasa' AI). Intinya, AI diajari untuk jadi lebih pintar dengan energi yang lebih sedikit.
- Rumah AI yang Ramah Lingkungan: Sekarang lagi tren membangun green data center. Ada yang dibangun di dekat kutub biar dapat pendinginan alami. Ada yang pakai teknologi pendingin cair (bukan cuma kipas angin). Dan yang terpenting, banyak perusahaan besar seperti Google dan Microsoft sudah berjanji untuk menjalankan pusat data mereka dengan 100% energi terbarukan (tenaga surya, angin, air).
- Munculnya AI 'Kecil': Tidak semua AI harus sebesar GPT-4. Kini mulai banyak dikembangkan model-model AI yang lebih kecil dan spesifik untuk tugas tertentu. AI kecil ini tentu jauh lebih hemat energi dan bisa dijalankan di perangkat lokal seperti laptop atau HP kita tanpa harus terus-terusan terhubung ke pusat data.
Jadi, Apa Peran Ta' Sebagai 'User Cerdas' dari Makassar?
Perubahan besar selalu dimulai dari kesadaran individu. Kita punya peran penting, Bosku.
- Gunakan dengan Bijak: Pikirkan AI sebagai 'alat bantu super', bukan mainan yang dipakai 24/7 untuk iseng. Kalau informasinya bisa dicari dengan mudah di Google, mungkin tidak perlu bertanya ke AI.
- Pilih Kualitas Rendah (Jika Ada Pilihan): Saat membuat gambar di AI, sering ada pilihan resolusi. Memilih resolusi yang lebih rendah atau proses yang lebih cepat biasanya berarti menggunakan energi yang lebih sedikit.
- Sebarkan Kesadaran Ini: Ini yang paling penting. Ceritakan hal ini ke teman-teman ta' saat lagi ngopi. Diskusikan di grup WhatsApp. Semakin banyak orang yang tahu, semakin besar tekanan publik kepada perusahaan teknologi untuk lebih serius menangani masalah ini.
- Dukung Transparansi: Dukung perusahaan yang berani jujur dan terbuka soal jejak karbon dan konsumsi air dari layanan AI mereka.
Pada akhirnya, kita tidak sedang di persimpangan antara "pakai AI" atau "tidak pakai AI". Tantangannya adalah bagaimana kita bisa mendorong inovasi ini ke arah yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan. Kita mau teknologi yang bukan hanya canggih, tapi juga bijak.
Sambil ngopi-ngopi atau makan pisang epe', coba ki' mampir juga ke tulisanku yang lain di'. Semoga tulisan yang lebih panjang ini bisa lebih memuaskan ki', Bosku. Kalau ada ide atau tanggapan, jangan sungkan tinggalkan jejak di kolom komentar nah! Terima kasih banyak!
No comments:
Post a Comment