Friday, April 18, 2025

Media Sosial Lokal vs Global: Bisakah Indonesia Ciptakan Platform Sendiri?


Kalau bicara soal media sosial, kayaknya tidak ada yang tidak tau itu TikTok, Instagram, YouTube, Facebook, sama itu X (Twitter dulu). Semua itu buatan luar, kebanyakan dari Amerika. Tapi coba mi kita pikir kenapa Indonesia belum bisa bikin aplikasinya sendiri yang bisa bersaing, atau minimal rame dipake orang-orang di negeri sendiri. Orang-orang di Makassar, jangankan yang muda, sampe emak-emak penjual online juga sekarang main TikTok. Tapi ya itu tadi, semua tergantung sama platform luar negeri.

Kenapa Kita Masih Terus Jadi Pengguna?
Sebenarnya bukan karena kita tidak mampu. Tapi bikin media sosial itu bukan main-main. Butuh banyak modal, butuh tim IT yang jago, server kuat, dan fitur-fitur yang bikin orang betah pake. Tapi yang paling bikin sedih, kadang kita sendiri ini yang tidak percaya sama produk buatan dalam negeri. Masih suka anggap “produk lokal” itu kurang keren. Padahal banyak ko aplikasi lokal yang sempat muncul, cuma sayangnya kurang dukungan.

Sebenarnya Pernah Ji Dicoba
Dulu-dulu itu ada beberapa aplikasi sosial buatan Indonesia. Contohnya Sebangsa, Yogrt, sama Buzzbuddies. Tapi tidak lama, pelan-pelan menghilang. Karena apa? Orang-orang tidak mau pindah, promosi kurang, dan investor pun ogah masuk karena penggunanya sedikit. Coba bayangkan kalau kita semua di Makassar ini kompak, dukung satu aplikasi lokal. Sedikit-sedikit bisa berkembang, dari kota ke kota, lama-lama nasional. Tapi butuh solidaritas ji.

Liatki’ China, Contoh Nyata yang Bisa Bangun Sendiri
Kalau mo cari contoh negara yang sukses bikin media sosialnya sendiri, itu China paling top. Mereka tidak pakai itu Facebook, IG, YouTube—semua diblokir. Tapi masyarakatnya tidak ketinggalan apa-apa karena mereka punya aplikasi buatan sendiri yang malah lebih canggih:
  1. WeChat – ini kayak gabungan WhatsApp, IG, sama Tokopedia dalam satu aplikasi.
  2. Weibo – versinya Twitter.
  3. Douyin – ini asli versi China dari TikTok, sebelum ByteDance bikin versi internasionalnya.
  4. Bilibili – mirip YouTube, tapi lebih fokus ke anak muda dan dunia anime.
  5. Xiaohongshu – ini kombinasi Pinterest sama marketplace, banyak review gaya hidup.
Jadi bukan karena tidak bisa. Mereka bisa karena dukungan pemerintah, pengusaha, dan masyarakatnya itu saling bantu. Mereka percaya sama produk sendiri. Kita juga harusnya bisa begitu.

Bisa Tidak Kita Bikin TikTok Versi Indonesia?
Bisa ji, tapi harus sama-sama. Pemerintah harus support, kasih ruang. Developer lokal butuh support modal dan promosi. Kreator konten juga harus berani pindah dan bantu ramekan. Dan kita, sebagai pengguna, harus kasih kepercayaan. Bayangkan kalau ada aplikasi lokal, yang kasih tempat buat orang Makassar, Toraja, Bone, bahkan sampai Papua buat bikin konten tanpa harus ikut algoritma luar. Monetisasi-nya adil, kontennya relevan, dan komunitasnya kuat. Siapa tau bisa jadi besar, asal kita konsisten dukung.

Media Sosial Itu Sekarang Ladang Kekuasaan Digital. Sekarang mi media sosial itu bukan cuma tempat joget-joget atau posting makanan. Tapi dia sudah jadi tempat pengaruh, tempat cari uang, bahkan tempat perang opini. Jadi penting sekali kita punya kendali atas platform sendiri. Kalau terus-terusan kita numpang di rumah orang, data kita semua dikendalikan sama luar negeri. Bisa saja besok-besok disuruh keluar rumah, dan kita tidak bisa berbuat apa-apa.

Saya percaya, anak-anak muda Makassar itu kreatif semua. Tidak takut coba hal baru. Tapi sayangnya, kita masih terlalu sibuk pakai aplikasi luar, padahal kita bisa bikin sendiri. Kalau China bisa, kenapa kita tidak?

Pertanyaanku sekarang: sampai kapan kita terus jadi tamu di rumah orang? Kenapa tidak bikin rumah sendiri dan jadi tuan di tanah digital kita?

Doakan saja di’, anak muda Indonesia bisa ciptakan sosial media sendiri. Supaya nanti, bukan cuma kita yang bangga, tapi dunia juga lihat bahwa Indonesia bisa jadi pemain besar di dunia digital. Bukan cuma pengguna tapi pencipta.

No comments:

Popular Posts