Jumat, September 19, 2025

'Quiet Vacation': Tren Baru Gen Z Cuti Diam-diam Tanpa Sepengetahuan Kantor


Coba ki' bayangkan ini. Setelah berbulan-bulan bekerja keras, akhirnya jadwal cuti yang sudah lama kita impikan disetujui oleh HRD. Hore! Tapi, alih-alih merasa lega dan bersemangat, yang muncul justru rasa cemas. Seminggu sebelum cuti, pekerjaan tiba-tiba menumpuk seperti ombak pasang. Rentetan pesan "Tolong selesaikan ini sebelum cuti ya, we!" mulai membanjiri WhatsApp.

Saat hari H liburan tiba pun, notifikasi grup kantor tetap berdering seakan tidak ada bedanya. Alhasil, kita yang seharusnya sedang menikmati pemandangan di Pantai Bira, malah jadi customer service dadakan yang membalas email dari pinggir pantai.

Merasa ini akrab di telinga ta'? Nah, kegelisahan inilah yang melahirkan sebuah tren perlawanan senyap yang sedang viral di kalangan Gen Z dan Milenial: 'Quiet Vacation' atau Cuti Sunyi Senyap.

Apa itu? Sederhananya: cuti kita 100% resmi dan disetujui perusahaan, tapi kita tidak mengumumkannya secara heboh ke rekan-rekan kerja. Status di aplikasi chat tetap hijau, tidak ada auto-reply "sedang cuti" di email. Tujuannya cuma satu: agar bisa benar-benar beristirahat tanpa diganggu.

Apakah ini sebuah strategi jenius untuk menjaga kewarasan, atau justru tindakan egois yang bisa merusak kerja sama tim?

Kenapa Tren Ini Bisa Muncul? Akarnya Bukan Sifat Malas
Munculnya fenomena 'Quiet Vacation' bukanlah karena para pekerja muda mendadak jadi malas atau anti-sosial. Ini adalah gejala dari budaya kerja modern yang sudah kebablasan.
  1. Penjara Digital yang Selalu 'On': Berkat smartphone, batasan antara kantor dan rumah sudah lebur. Aplikasi seperti Slack, Microsoft Teams, dan WhatsApp Group telah mengubah jam kerja 9-to-5 menjadi 24/7. Cuti tidak lagi berarti "putus hubungan", tapi hanya "pindah lokasi kerja" dengan pemandangan yang lebih bagus.
  2. Rasa Bersalah saat Cuti (Vacation Guilt): Banyak pekerja, terutama di lingkungan yang sangat kompetitif, merasa bersalah saat mengambil hak cuti mereka. Ada ketakutan dianggap tidak berkomitmen, takut membebani rekan kerja, atau khawatir posisinya terancam. Mengumumkan cuti bisa terasa seperti sebuah pengakuan dosa.
  3. Trauma Burnout: Generasi Z dan Milenial adalah generasi yang paling sadar akan isu kesehatan mental dan burnout. Mereka melihat generasi sebelumnya mengorbankan segalanya demi pekerjaan. 'Quiet Vacation' adalah bentuk perlawanan dan mekanisme pertahanan diri untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Sisi Pro: 'Benteng' Terbaik Melawan Gempuran Kerjaan
Para pendukung 'Quiet Vacation' melihat ini sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan istirahat yang sesungguhnya.
  • Benar-Benar 'Mencabut Kabel': Dengan tidak mengumumkan cuti, mereka menciptakan sebuah benteng mental. Tidak ada ekspektasi dari rekan kerja untuk mereka merespons. Ini memungkinkan otak untuk benar-benar beristirahat dan pulih, bukan cuma beralih dari mode "kerja aktif" ke mode "siaga".
  • Mengurangi Stres Pra-Cuti: Stres terbesar seringkali terjadi sebelum cuti, yaitu saat harus melakukan serah terima pekerjaan yang rumit. Dengan cuti diam-diam, proses ini menjadi lebih simpel dan tidak terlalu formal, mengurangi kecemasan.
  • Mendorong Kemandirian Tim: Secara tidak langsung, ini memaksa tim untuk tidak terlalu bergantung pada satu orang. Sistem kerja yang baik seharusnya tidak runtuh hanya karena satu orang mengambil hak cutinya.
Sisi Kontra: Egois atau Hanya Salah Paham?
Tentu saja, strategi ini bukannya tanpa risiko dan kritik. Bagi sebagian orang, ini bisa dianggap sebagai tindakan yang kurang profesional.
  • Potensi Merusak Kolaborasi: Rekan kerja mungkin merasa tidak dihargai atau ditinggalkan saat mereka tiba-tiba tidak bisa menghubungi kita untuk urusan mendesak. Ini bisa menimbulkan miskomunikasi dan menghambat alur kerja tim.
  • Dianggap Tidak Bertanggung Jawab: Jika terjadi sebuah krisis yang membutuhkan keahlian atau informasi dari kita, "menghilang" tanpa jejak bisa menyebabkan masalah besar bagi tim dan perusahaan.
  • Menciptakan Budaya Curiga: Alih-alih membangun budaya yang terbuka tentang pentingnya istirahat, tren ini justru bisa mendorong budaya kerja yang penuh rahasia dan saling curiga.
Jalan Tengah: Cuti Tenang Tanpa Harus 'Menghilang'
Sebenarnya, tujuan utama dari 'Quiet Vacation' bukanlah untuk berbohong atau menjadi misterius. Tujuannya adalah untuk mendapatkan ketenangan. Dan ketenangan itu bisa dicapai dengan cara yang lebih elegan.
  1. Komunikasikan Batasan, Bukan Rencana: Kita tidak perlu mengumumkan, "Woy, saya mau healing ke Bali seminggu!". Cukup atur status di aplikasi chat atau kirim pesan di grup: "Saya akan cuti dari tanggal X sampai Y. Selama periode ini, saya tidak akan memeriksa pesan kecuali ada urusan darurat level 1. Untuk urusan A, silakan hubungi si B."
  2. Maksimalkan Teknologi: Gunakan fitur out-of-office di email secara maksimal. Atur agar balasan otomatisnya jelas dan informatif, memberitahu siapa yang harus dihubungi selama kita tidak ada.
  3. Serah Terima yang Cerdas: Lakukan serah terima pekerjaan yang jelas dan terdokumentasi kepada satu atau dua orang kunci sebelum cuti. Ini menunjukkan tanggung jawab kita tanpa harus "stand by" selama liburan.
  4. Untuk Perusahaan: Ciptakan Budaya Sehat: Pada akhirnya, tanggung jawab terbesar ada di perusahaan. Jika sebuah perusahaan memiliki budaya kerja yang menghormati waktu istirahat karyawan, maka tren seperti 'Quiet Vacation' ini tidak akan pernah dibutuhkan.
Kesimpulan
Fenomena 'Quiet Vacation' sebaiknya tidak kita lihat sebagai masalahnya, melainkan sebagai gejala dari masalah yang lebih besar: yaitu budaya kerja yang tidak sehat dan tidak menghargai batas.

Keinginan untuk bisa berlibur dengan tenang adalah hak yang sangat wajar. Mungkin ke depannya, cita-cita kita bukanlah bisa mengambil cuti diam-diam, melainkan bisa mengambil cuti secara terang-terangan dan semua orang—dari bos hingga rekan kerja—bisa menghormatinya dengan tulus.

Kalau menurut ta', ki' masuk Tim Cuti Heboh-heboh atau Tim Cuti Sunyi Senyap? Ayo diskusi di kolom komentar!

Tidak ada komentar:

Popular Posts